(Sebuah Pengantar Akademisi)
Kepedulian sebuah perusahaan pada aspek sosial merupakan bentuk investasi tersendiri bagi keberlanjutan bisnis yang tidak hanya mengejar keuntungan finansial (bottom line), juga kepedulian sosial. Sehingga perilaku perusahaan ini disebut sebagai sebuah investasi sosial (social investment). Ibnu Hammad mengatakan bahwa;
“investasi sosial sebagai perwujudkan itikad baik korporasi justru diprogramkan dalam rangka menjaga keseimbangan perhatian antara kepentingan korporasi dan kepedulian terhadap lingkungan di sekitar korporasi.” [1]
Secara konseptual kontribusi perusahaan ini dalam Ilmu Kesejahteraan Sosial (social work) dikenal dengan model Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan terhadap Masyarakat.[2]
Mu’man Nuryana, Ph. D mengutip perkataan C. Marsden mendefinisikan CSR sebagai “memenuhi harapan stakeholder dalam memaksimumkan dampak positif perusahaan terhadap lingkungan sosial dan fisik, sementara tetap menyediakan suatu pengembalian kompetitif kepada shareholders finansial.”[3]
World Business Council for Sustainable Development, juga mendefinisikan CSR sebagai;
continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large.[4]
(komitmen yang kuat dari pelaku bisnis untuk beretika dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi dengan membangun kemampuan hidup dari pekerja dan keluarga mereka, serta masyarakat secara komunitas atau dalam lingkup yang lebih luas.)
Konsep CSR ini merupakan konsep yang tergabung dalam sub pekerjaan sosial industri sebagai model guna mewujudkan “Pembangunan Kesejahteraan Sosial” atau “Social Welfare Development”, yakni konsep yang diajukan negara-negara Welfare State, sebagai konsep alternatif guna menanggulangi permasalahan-permasalahan sosial. Garis besar konsep Pembangunan Kesejahteraan Sosial ini mengacu pada penyeimbangan antara Pertumbuhan Ekonomi (Economic Growth) dengan Pembangunan Sosial (Social Development). Penyeimbangan seperti ini secara historis muncul sebagai kekecewaan atas berbagai konsep pembangunan ekonomi yang telah lama diterapkan.
Begitupun dengan CSR yang lahir dari perubahan model perusahaan yang dominan ekonomis ke model sosio-ekonomis yang lebih luas. Model ekonomi menekankan pada aspek produksi, eksploitasi sumber daya, kepentingan individual, dan sedikit peranan pemerintah. Sedangkan, model sosio-ekonomis menekankan pada kualitas kehidupan keseluruhannya, kelestarian sumber daya, kepentingan masyarakat, keterlibatan aktif pemerintah dan pandangan sistem terbuka perusahaan.[5]
Eksploitasi perusahaan pada lingkup internal dan external disebut sebagai penyebab utama timbulya kritik pada perusahaan sehingga memunculkan terma tanggung jawab sosial perusahaan.[6] Kemunculan undang-undang jaminan sosial tenaga kerja, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kesehatan bagi pekerja dan keluarga, sampai peraturan tentang pelaksanaan larangan diskriminasi pekerja wanita, adalah sebagian contoh dari kritik kesejahteraan pekerja yang ditujukan bagi perusahaan sehingga memunculkan tanggung jawab sosial perusahaan secara internal.[7]
Dalam dimensi eksternal, social hazard (kerusakan lingkungan dan kehidupan sosial) juga disebut sebagai pendorong munculnya tanggung jawab sosial perusahaan. Fenomena penuntutan ganti rugi dari korban lumpur Lapindo Brantas merupakan bagian permisalan nyata yang menyinggung kembali tanggung jawab sosial dari perusahaan. Kerugian yang diakibatkan oleh semburan lumpur tersebut, mengakibatkan masyarakat sekitar pabrik tidak hanya mengalami kerugian harta tetapi nyawa.
Hal-hal tersebut diatas yang membuat John Elkington, seorang Co-Founder dan Pimpinan konsultan bisnis berkelanjutan (Sustainable Business Consultancy), mencetuskan konsep Triple Bottom Line, sebagai konsep yang menyatakan bahwa CSR adalah aktivitas yang mengejar tiga hal, yakni Profit (selain mengejar kepentingan shareholders, perusahaan juga memperhatikan stakeholders), People (terlibat penuh pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat) dan Planet (partisipasi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan).[8]
Berpulang pada dasar pemikiran tersebut, merasa perlu adanya sebuah penelitian guna mencari dan mengelaborasi lebih jauh mengenai keterkaitan antara aspek bisnis dengan aspek sosial dari perusahaan, sehingga tidak hanya secara parsial menjadi trend dunia usaha, tetapi menjadi sebuah alternatif model dalam mewujudkan pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia.
[1] Pusat Penyuluhan Sosial (PUSPENSOS), Investasi Sosial (Strategi Komunikasi untuk Menyukseskan Program Investasi Sosial oleh DR. Ibnu Hammad), (La Tofi Enterprise, Jakarta; 2005). h. 63, Ralph Estes juga menjelaskan bahwa “ obsesi pada keuntungan “bottom line” menyebabkan adanya wawasan jangka pendek yang membuat perusahaan mengabaikan pelatihan, pelayanan, pemeliharaan, dan riset maupun pengembangan-meskipun semakin banyak ditemukan bukti bahwa pendekatan jangka pendek semacam itu hanya akan merugikan kinerja finansial jangka panjang”, Ralph Estes, Tyranny of the Bottom Line, (Mengapa banyak Perusahaan membuat orang baik bertindak buruk), (Gramedia, Jakarta; 2005). h. 3
[3] Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial (BALATBANGSOS), Isu-isu Tematik Pembangunan Sosial (Konsepsi dan Strategi), Balatbangsos, Jakarta; tt. h. 241
[4] (CSR; sebuah keharusan oleh Teguh Sri Pambudi) Pusat Penyuluhan Sosial (PUSPENSOS), Investasi Sosial, La Tofi Enterprise, Jakarta; 2005. h. 18
[5] (Tanggung jawab sosial dunia usaha oleh Drs. Asep Sasa Purnama, M.Si) Pusat Penyuluhan Sosial (PUSPENSOS), Investasi Sosial, La Tofi Enterprise, Jakarta; 2005. h. 84
[6] Employment and Social Affairs European Commission, Promoting a European framework for Corporate Social Responsibility, European Commission, Belgia; 2001. h. 9-16, pada jurnal ini disebutkan; CSR dalam lingkup internal melingkupi; human resources management, health and safety at work, adaptation to change, dan management of environmental impacts and natural resources. Sedangkan dalam lingkup eksternal CSR meliputi; local communities, business partners, suppliers and consumers, human right, dan global environmental concerns.
[7] Lihat Himpunan Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan bidang Hubungan Industrial, Syarat-syarat Kerja, PTKA dan Perlindungan Tenaga Kerja, (Jakarta: CV. Restu Pandutama, 2003). hal. 585 (Undang-undang RI No. 03 tahun 1992 tanggal 17 Februari 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja), hal. 667 (Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 04/MEN/1993 tanggal 27 Februari 1993 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja), hal. 789 (Keputusan Dirjen Binawas No. Kep. 338/BW/98 tentang Tata cara penyelenggaraan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan dengan manfaat lebih baik), dan hal. 805 (Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja RI Nomor: SE-04/MEN/88 tanggal 16 Agustus 1988 tentang Pelaksanaan Larangan Diskriminasi Pekerja Wanita).
[8] (CSR; sebuah keharusan oleh Teguh Sri Pambudi) Pusat Penyuluhan Sosial (PUSPENSOS), Investasi Sosial, La Tofi Enterprise, Jakarta; 2005. h. 19, lihat juga Darrell Brown, dkk, Triple Bottom Line: A Business Metaphor for A Social Construct, Universitat Autonoma de Barcelona, Spain: 2006. (Document de Treball num. 06/2). hal. 5, pada Wayne Norman and Chris Mc Donald, Getting to the Bottom of “Triple Bottom Line”, (2003), disebutkan bahwa; “the idea behind triple bottom line paradigm is that a corporation’s iultimate success or health can and should be measured not just by traditional financial bottom line, but also by it’s social/ ethical and environmental performance.”)
No comments:
Post a Comment