Konsep CSR lahir dari perubahan model perusahaan yang dominan ekonomis ke model sosio-ekonomis yang lebih luas.[1] Model ekonomi menekankan pada aspek produksi, eksploitasi sumber daya, kepentingan individual, dan sedikit peranan pemerintah. Sedangkan, model sosio-ekonomis menekankan pada kualitas kehidupan keseluruhannya, kelestarian sumber daya, kepentingan masyarakat, keterlibatan aktif pemerintah dan pandangan sistem terbuka perusahaan.[2]
Secara historis kemunculan Corporate Social Responsibility sangat erat kaitannya juga dengan sejarah perkembangan pelayanan sosial di Eropa. Ditandai pada awal tahun 1990 dimana kecurangan atau anti sosial perusahaan menjadi-jadi.[3] Karl Marx mengkritik produk kapitalisme itu dalam Das Capital bersama dengan Fredric Engel dengan The Communist Manifesto.[4] Dengan latar belakang tersebut akhirnya pemerintah melahirkan sejumlah undang-undang yang membatasi kegiatan bisnis. Seperti pada 1887 dengan Intreste Commerce Act dan The Pure Food and Drug Act pada 1906.[5]
Ditambahkan bahwa asal-muasal CSR dapat dikatakan berawal pada tahun1990-an di Eropa terutama Inggris dan negara-negara Skandinavia, walaupun ketika itu hanya menekankan terbatas pada kesejahteraan pegawai perusahaan. Pada waktu itu perusahaan melakukan pengembangan rumah bagi pegawai, mencanangkan kebijakan Zero Loss of Life dari kecelakaan tempat kerja, dan menawarkan suatu skema kesejahteraan keluarga pegawai.
1960-an dan 1970-an di banyak negara tanggung jawab sosial dan kontribusi charity yang langsung kepada yang berhak, sehingga banyak perusahaan yang membentuk yayasan. Dilanjutkan pada tahun 1980-an dan 1990-an , di negara-negara maju, muncul suatu kepentingan yang lebih besar dari stakeholder agar attitude perusahaan lebih corporate citizenship. [6] [1] Lihat juga Form and Miller dalam The Sociology of Industry oleh S. R. Parker, dkk (George Allen and Unwin; London, 1978), edisi ketiga h. 67, ia mengatakan “there are five types of relationship between this wide economic interest group and the community”[1];
1. Business-Dictated, employers dictate working hours without much concern for their effect on home life, and workers must accommodate their family life to industrial operations.
2. Business-Dominated, similar to the above, but management negotiates certain conditions of work with the union, while retaining work rules and hours as a management prerogrative.
3. Labor-Mediated, unions attempt to share management’s right to determine working hours, and there may be labor management councils.
4. Equilibrium, unions are strong, and so are other community influences.
5. Family-Mediated, family values are dominant (family ownership of the enterprise, religious or co-operative communities).
[2] (Tanggung jawab social dunia usaha oleh Drs. Asep Sasa Purnama, M.Si) Pusat Penyuluhan Sosial (PUSPENSOS), Investasi Sosial, La Tofi Enterprise, Jakarta; 2005. h. 84
[3] Kesalehan Sosial Perusahaan. Jakarta: Tabloid INFO ZAKAT. Edisi 1 Desember 1999. h. 6
[4] Kesalehan Sosial Perusahaan. Jakarta: Tabloid INFO ZAKAT. h. 6
[5] Kesalehan Sosial Perusahaan. Jakarta: Tabloid INFO ZAKAT. h. 6
[6] (Sumber Dana CSR Perusahaan oleh Mu’man Nuryana, PhD) Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial (BALATBANGSOS), Isu-isu Tematik Pembangunan Sosial (Konsepsi dan Strategi), Balatbangsos, Jakarta; tt. h. 243-245
No comments:
Post a Comment