Miskin dan Dhu’afa merupakan dua kata yang mempunyai esensi yang sama akan tetapi memiliki pengertian yang sangat berbeda. Abu Al-Hasan Al-Atsary menyebutkan kata miskin berasal dari kata (اِسْتَكَانَ ــ اِسْتِكَانَة), yang memiliki arti merendahkan diri. Bentuk personalnya (mufrad) adalah (مِسْكِيْنٌ) dan bentuk jamaknya (jama’) adalah (مَسَاكِيْن). Berbeda dengan dhu’afa Al-Atsary menyebutkan kata dhu’afa berasal dari kata (ضَعَفَ ـُـ ضَعَافَة), yang memiliki arti lemah dan tidak berdaya.[1]
Dalam beberapa tafsir Al-Qur’an kata miskin diartikan sebagai orang yang terlantar, tidak mempunyai rumah dan tidak ada sesuatu apapun yang melindungi dirinya kecuali debu.[2] Soerjono Soekanto mendefinisikan kemiskinan sebagai, “suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut”.[3]
Lain halnya dengan Zastrow, ia mengatakan dalam mendefinisikan kemiskinan setidaknya harus dilihat dalam dua persfektif besar[4], yaitu;
a. Pendekatan Absolut
Keadaan miskin adalah perbandingan antara mereka yang miskin dengan mereka yang tidak miskin.
b. Pendekatan Relativitas
Keadaan miskin adalah keadaan dimana pendapatan seseorang lebih rendah dengan pendapatan rata-rata semua orang.
Mengambil definisi SMERU yang dikutip oleh Edi Suharto, Ph.D bahwa dalam mendefinisikan kemiskinan terdapat cirri-ciri yang harus kita ketahui;[5]
1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan ekonomi dasar (pangan, sandang dan papan).
2. Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi air bersih dan transportasi).
3. Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).
4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal.
5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber alam.
6. Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat.
7. Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.
8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).
Suharto menyatakan melalui kutipan Frank Ellis bahwa menyangkut definisi kemiskinan terdapat tiga dimensi yang harus dipahami [6], yaitu;
1. Aspek Ekonomi
Kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Pada hal ini bisanya kemiskinan diukur dengan garis standar kemiskinan (poverty line), sama dengan strategi yang dilakukan BPS dalam mengukur kemiskinan di Indonesia.
2. Aspek Politik
Mengambil definisi yang diajukan oleh Friedman bahwa kemiskinan dalam aspek politik adalah kaitannya dengan ketidaksamaan kesempatan dalam mengakumulasikan basis kekuasaan sosial yang meliputi asset, sumber keuangan, organisasi sosial politik, jaringan sosial dan pengetahuan serta keterampilan.
3. Aspek Sosio-Psikologis
Pada aspek ini kemiskinan menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitasnya. Aspek ini dapat juga didefinisikan sebagai satu keadaan yang disebabkan oleh adanya penghambat yang mencegah dan merintagi seseorang dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat.
Bersamaan dengan definisi diatas Asep Usman Ismail mengutip Ar-Raghib Al-Isfahani dalam Mufradat Al-Fadh Al-Qur’an ketika menjelaskan makna dan maksud istilah dhu’afa pada surat An-Nisaa (4): 9, ia menyatakan bahwa istilah itu memiliki beberapa pengertian sebagai berikut:[7]
1. Dha’if Al-Jismy, (lemah secara iman, maksudnya orang-orang beriman tidak boleh membiarkan anak-anak mereka memiliki fisik, tubuh ataupun badan yang lemah).
2. Dha’if Al-‘Aqly, (lemah secara intelektual).
3. Dha’if Al-Haaly, (lemahnya keadaan sosial ekonomi yang dihadapi. Dalam dimensi ini terdapat dua pengertian mendasar, yakni kelemahan ini tidak berkenaan dengan fisik, keterampilan hidup dan kecerdasan, tetapi berkenaan dengan kemampuan untuk mendapatkan informasi peluang dan pengembangan diri dan kelemahan ini berkenaan dengan kemiskinan dan masalah-masalah sosial.
Pengertian-pengertian diatas dapat dikatakan bersandar pada ayat-ayat Qur’an yang banyak menyebutkan perintah untuk berbuat baik kepada kaum miskin dan dhu’afa. Pada surat Al-Baqarah (2) ayat 3, Allah SWT memerintahkan dengan menyebutkan kalimat “pada rezeki yang kami berikan kepada mereka terdapat hak yang wajib untuk disedekahkan”. Dalam beberapa tafsir disebutkan bahwa ayat pada awalnya muncul sebagai perintah untuk menafkahkan rezeki dengan memberikannya kepada siapa saja dengan ukuran apa yang mudah untuk si pemberi, sampai turun surat At-Taubah yang menjelaskan kewajiban menafkahkan rezeki (zakat).[8]
Dalam surat Al-Insan ayat 8, Allah SWT juga memerintahkan untuk memberikan atas makanan yang mereka cintai. Ibnu Katsir juga menyitir dua ayat yang semisal dengan ayat delapan surat Al-Insan tersebut.[9]
[1] Abu Al-Hasan Al-Atsary, Al-Mufid, (2006). Software Al-Mufid ver. 1.0 oleh TODO (Abu hasan.blogspot.com)
[2] Al-Imam Al-Hafidz ‘Imaduddin Abdul Fida Isma’il bin Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur’aan Al-‘Adzim, Toha Putera, Semarang; tt. h. 514, pengertian ini merupakan tafsiran atas Surat Al-Balad ayat 16. Lihat juga At-Thobary hal. 205, “menyampaikan kepada kami Ibnu Humaid, telah menyampaikan kepada kami Mihran dari Sufyan dari Usman dari Al-Mughirah dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata; (mengenai pengertian orang miskin yang sangat fakir) adalah orang yang dapat ditemui dijalan yang tidak memiliki tempat berteduh kecuali debu”.
[3] Soerjono Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, Raja Grafindo, Jakarta; 2003
[4] Charles H. Zastrow, Introduction to Social Work and Social Welfare, Belmont: Brooks/Cole; 2000
[5] Edi Suharto, Ph.D, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Refika Aditama, Bandung; 2005. h. 132
[6] Edi Suharto, Ph.D, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Refika Aditama, Bandung; 2005. h. 133
[7] Asep Usman Ismail (Ed.), Pengamalan Al-Qur’an tentang Pemberdayaan Dhu’afa, (Jakarta: Dakwah Press, 2008). Hal 15-17
[8] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabariy, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wil Aayi Al-Qur’an, (Daar Al-Fikr, Libanon; 1998). Juz I h. 104.
[9] Al-Imam Al-Hafidz ‘Imaduddin Abdul Fida Isma’il bin Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur’aan Al-‘Adzim, Toha Putera, Semarang; tt. h. 454
No comments:
Post a Comment