Pages

Thursday, February 17, 2011

Perencanaan Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat


a.           Pengertian Perencanaan Sosial
Nicholas White seorang Direktur NGO Belgia, Chrisis group International pernah mengatakan "If we fail to plan, we plan to fail". Perencanaan pada sejatinya merupakan usaha secara sadar, terorganisir dan terus menerus dilakukan guna memilih alternatif yang mencapai tujuan tertentu. Kaitannya dengan perencanaan masyarakat untuk tujuan pemberdayaan maka lebih spesifik perencanaan ini disebut sebagai perencanaan sosial (Social Planning). [1]
PBB memberikan definisi atas perencanaan sosial ini dengan meliputi tiga terma pengertian, yakni :
1.             Perencanaan sosial pada sektor sosial, perencanaan ini meliputi sektor kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan, perumahan, kependudukan dan keluarga berencana.
2.             Perencanaan sosial pada lintas sektoral, perencanaan yang lebih dari sekedar perencanaan ekonomi, akan tetapi perencanaan pada berbagai sektor.
3.             Perencanaan sosial sebagai aspek-aspek sosial dari perencanaan ekonomi.
Pada pengertian perencanaan tercakup dua dimensi penting, yaitu; perencanaan sosial sebagai perencanaan input sosial bagi perencanaan ekonomi, dan perencanaan sosial sebagai perencanaan yang ditujukan untuk menghindari, mencegah berbagai akibat sosial yang tidak diharapkan dari adanya Pembangunan ekonomi. [2]
Pada tingkatan kesejahteraan kosial maka perencanaan ini memiliki pengertian sebagai serangkaian kegiatan yang terorganisir yang ditujukan untuk memungkinkan individu, kelompok serta masyarakat dapat memperbaiki keadaan mereka sendiri, menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada serta dapat berpartisipasi dalam tugas-tugas pembangunan.[3]

b.          Model-model Perencanaan Sosial
Asumsi dan tujuan sebuah perencanaan sosial tergantung pada model perencanaan yang dipilih. Ada empat model dalam perencanaan:[4]
1.                  Rasional Komprehensif
Prinsip utama model ini menunjukan bahwa perencanaan merupakan suatu proses yang teratur dan logis sejak diagnosis masalah sampai pada pelaksanaan kegiatan (penerapan program).
Karena mengandung prinsip teratur dan logis, model ini sangat mengedepankan aspek teknis metodologis yang didasarkan pada faktor-faktor, teori-teori dan nilai-nilai tertentu yang relevan.
2.                  Inkremental
Model ini terlahir sebagai penambah Model Rasional Komprehensif. Model ini mengedepankan perubahan-perubahan kecil sebagai penambah pada aspek-aspek program yang sudah ada, bukanlah mengadakan perubahan-perubahan yang bersifat radikal.
Sebenarnya yang paling penting pada model ini bahwa dalam perencanaan hanya ditentukan choice yang lebih diutamakan terhadap policy yang berbeda secara marginal.
3.                  Mixedscanning (Pengamatan terpadu/ Penyelidikan Campuran)
Model ini merupakan model jalan tengah dari kedua model sebelumnya. Model perencanaan ini dikembangkan oleh Amitas Etzioni melalui karyanya Mixedscanning: A Thord Approach to Decision Mixedscanning. Benang merah model ini adalah tambahan-tambahan dari model Rasional Komprehensif yang lebih pada fundamental dengan menjajaki alternatif-alternatif utama yang dihubungkan dengan tujuan-tujuan dan Model Inkremental yang disusun diatas keputusan-keputusan fundamental. Dari keduanya dengan model ini didapatkan hal-hal yang ditail dan spesifik sebagai keseluruhan pandangan.
4.                  Transaksi
Secara gamblang model ini lebih mudah dipahami karena model ini hanya menekankan suatu model perencanaan yang mengedepankan interaksi dan komunikasi antara planner dengan penerima perencanaan (pelayanan).

c.                      Proses Perencanaan dalam Pemetaan Sosial
Pada proses perencanaan ini ada hal-hal yang harus dilewati dan dimengerti secara sistematis, yaitu identifikasi masalah. Identifikasi masalah sangat erat kaitannya dengan asesmen kebutuhan (Need Assesment). Asesmen kebutuhan dapat diartikan sebagai penentuan besarnya atau luasnya suatu kondisi dalam suatu populasi yang ingin diperbaiki atau penentuan kekurangan dalam kondisi yang ingin direalisasikan.
Mengenai ini Earl Rubington dan Martin Weinberg dalam karya mereka The Study of Social Problem mendefinisikan masalah sosial sebagai an alleged situation that is incompatible with the values of significant number of people who agree that action is needed to alter the situation. [5]
Dari paparan dan Rubington dan Martin tersebut, setidaknya ada empat pengertian dasar dalam permasalahan sosial, yaitu;
a.             An Alleged situation (situasi yang diungkapkan atau dinyatakan).
b.            Incompatible with value (kondisi yang tidak sesuai dengan nilai atau moral ataupun hal-hal yang dianggap layak).
c.             A significant number of people (kondisi ini dinyatakan oleh beberapa orang penting atau para ahli sebagai suatu permasalahan sosial).
d.            Action is needed (mengenai situasi dan kondisi ini diungkapkan perlu adanya suatu aksi sosial atau aksi perubahan). [6]
Kaitannya dengan asesmen kebutuhan ada lima jenis kebutuhan[7], yakni :
a.              Kebutuhan absolut, yaitu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh manusia agar dapat mempertahankan kehidupannya (survive)
b.             Kebutuhan normatif, adalah kebutuhan yang didefinisikan oleh ahli atau tenaga profesional dimana kebutuhan ini biasanya didasarkan atas dasar tertentu
c.              Kebutuhan yang dirasakan, adalah sesuatu yang dianggap oleh oarang sebagai kebutuhannya
d.             Kebutuhan yang dinyatakan, adalah kebutuhan yang dirasakan yang kemudian berubah atau diubah menjadi kebutuhan yang dinyatakan sebagai kebutuhan yang penting berdasarkan banyaknya permintaan atas kebutuhan tersebut
e.              Kebutuhan komparatif, adalah kebutuhan hasil perbandingan dari wilayah-wilayah yang berbeda untuk kelompok masyarakat yang memiliki karekteristik yang sama.
Menjadi tolak ukur penting pula dalam perencanaan setelah tahapan identifikasi masalah, adalah bagaimana kejelian seorang perencana melakukan pemetaan sosial.
Edi Suharto, Ph.D merekomendasikan sedikitnya ada tiga metode dan tehnik dalam Pemetaan Sosial. [8]
1.             Social Survey, adalah pengumpulan informasi standar dari sampel orang atau household (rumah tangga) yang diseleksi secara hati-hati guna dibandingkan mengenai sejumlah orang yang relatif banyak pada kelompok sasaran tertentu.
2.             Rapid Appraisal, merupakan metode untuk mengumpulkan informasi mengenai pandangan dan masukan dari populasi sasaran dan staholders mengenai kondisi geografis dan sosial ekonomi.
Participatory, adalah metode pengumpulan data yang melibatkan kerjasama aktif antara pengumpul data dengan responden, biasanya pertanyaan-pertanyaan pada responden-pun tidak terlalu baku, melainkan hanya garis besarnya saja.


[1]  Edi Suharto, Ph.D, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Refika Aditama, Bandung; 2005. h. 71
[2]  Edi Suharto, Ph.D, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, h. 72
[3]  Edi Suharto, Ph.D, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, h. 72
[4] Edi Suharto, Ph.D, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, h.72-75
[5]  Ed. Earl Rubington and Martin S. Weinberg, The Study of Social Problem; Seven Persfectives, Oxford University Press, New York; 1995. h. 4
[6]  Ed. Earl Rubington and Martin S. Weinberg, The Study of Social Problem; Seven Persfectives, Oxford University Press, New York; 1995. h. 5-6
[7]   Edi Suharto, Ph.D, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Refika Aditama, Bandung; 2005. h. 76-77
[8] Edi Suharto, Ph.D, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Refika Aditama, Bandung; 2005. h. 90-92

Selengkapnya...

Pemberdayaan Masyarakat; Sebagai sebuah Konsep


Hal inti dari sebuah intervensi, baik itu individu, komunitas ataupun masyarakat adalah sebagai upaya pengembalian keberfungsian sosial dan memberdayakan guna mencapai kehidupan yang lebih baik.
Mengutip definisi Payne mengenai pemberdayaan (empowerment)[1], pada intinya bertujuan guna;
"to help clients gain power of decision and action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks to exercising existing power, by increasing capacity and self confidence to use power and by transfering power from the environment to the client".

(untuk membantu klien (individu atau masyarakat) sehingga dapat memperoleh kemampuan untuk memutuskan kehidupan mereka sendiri dengan mengurangi efek sosial atau personal dengan terus meningkatkan kepercayaan diri dan kemampuan mereka untuk melakukan sesuatu dengan menjadikan lingkungan sebagai kekuatan bagi mereka).

Senada dengan pengertian tersebut disampaikan oleh Arif Budimanta, bahwa community development, adalah kegiatan pengembangan masyarakat yang diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat untuk mencapai kondisi sosial-ekonomi-budaya yang lebih baik apabila dibandingkan dengan sebelum adanya kegiatan pembangunan.[2] Sehingga masyarakat di tempat tersebut diharapkan menjadi lebih mandiri dengan kualitas kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik.
Community Development yang juga sering disebut dengan intervensi komunitas termasuk dalam gugusan konsep Intervensi Makro pada keilmuan Kesejahteraan Sosial. Intervensi ini juga diistilahkan dengan Community Work, Community Organization, Social Work Macro Practice, Community Intervention, dsb.
Intervensi Komunitas didefinisikan sebagai professionaly directed intervention designed to bring about planned change in organization and communities [3],jika dibandingkan dengan Intervensi Mikro yang lebih memusatkan pada dua metode besar, yakni Social Casework dan Social Groupwork.
Dikemukakan oleh Rothman, Tropman dan Erlich bahwa intervensi komunitas mempunyai model yang beragam, sebagaimana tercakup dalam lima model;


ü   Locallity Development.
ü   Social Planning.
ü   Social Action.
ü   Social Policy.
ü   Administration and Management.


Kaitannya dengan upaya pemberdayaan dan pengembangan masyarakat Rothman dan Tropman merekomendasikan bahwa upaya ini dapat diupayakan dengan 3 model, sebagaimana terlihat pada bagan ini;
 
No
Indikator
Pengembangan
Masyarakat Lokal
Perencanaan Sosial
Aksi Sosial
1.
Kategori tujuan tindakan terhadap masyarakat
Kemandirian; pengembangan kapasistas dan pengintegrasian masyarakat (tujuan yang dititik beratkan pada proses=process goals)
Pemecahan masalah dengan memperhatikan masalah penting yang ada pada masyarakat (tujuan dititikberatkan pada tugas=task goals)
Pergeseran (pengalihan) sumberdaya dan relasi kekuasaan; perubahan institusi dasar (task atau process goals)
2.
Asumsi mengenai struktur komunitas dan kondisi permasalahannya
Adanya anomi dan 'kemurungan' dalam masyarakat; kesenjangan relasi dan kapasistas dalam memecahkan masalah secara demokratis; komunitas berbentuk tradisional statis.
Masalah sosial yang sesungguhnya; kesehatan fisik dan menta, perumahan dan rekreasi nasional.
Populasi yang dirugikan; kesenjangan sosial, perampasan hak dan ketidakadilan.
3.
Strategi perubahan dasar
Pelibatan berbagai kelompok warga dalam menentukan dan memecahkan masalah mereka sendiri.
Pengumpulan data terkait dengan masalah, dan memilih serta menentukan bentuk tindakan yang paling rasional.
Kristalisasi dari isu dan pengorganisasian massa untuk menghadapi sasaran yang menjadi 'musuh' mereka
4.
Karekteristik taktik dan tehnik perubahan
Konsensus; komuniksi antar kelompok dan kelompok kepentingan dalam masyarakat (komunitas) dan diskusi kelompok.
Konsensus atau konflik.
Konflik dan kontes, konfrontasi, aksi langsung dan negosiasi.
5.
Peran praktisi yang menonjol
Sebagai enabler-katalis, koordinator(orang yang meng'ajar'kan keterampilan memecahkan masalah dan nilai-nilai etis.
Pengumpul dan penganalisis data, pengimplementasi program dan fasilitator.
Aktivis, advokat, agitor, pialang, negosiator dan partisan.
6.
Media perubahan
Manipulasi kelompok kecil yang berorientasi pada terseleksinya suatu tugas (small task oriented group)
Manipulasi organisasi formal dan data yang tersedia.
Manipulasi organisasi massa dan proses-proses politik.
7.
Orientasi terhadap struktur kekuasaan
Anggota dari struktur kekuasaan bertindak sebagai kolaborator dalam 'ventura' yang bersifat umum.
Struktur kekuasaan sebagai 'pemilik' dan 'sponsor' (pendukung).
Struktur kekuasaan sebagai sasaran eksternal dari tindakan yang dilakukan, mereka memberikan 'tekanan' harus dilawan dengan memberikan 'tekanan' balik.
8.
Batasan definisi sistem klien dalam komunitas (konstituensi)
Kekuasaan komunitas geografis.
Keseluruhan komunitas atau dapat pula suatu segmen dalam komunitas (termasuk komunitas fungsional).
Segmen dalam komunitas.
9.
Asumsi mengenai kepentingan dari kelompok-kelompok dari suatu komunitas
Kepentingan umum atau pemufakatan dari berbagai perbedaan.
Pemufakatan kepentingan atau konflik.
Konflik kepentingan yang sulit dicapai kata mufakat karena kelangkaan sumber daya.
10.
Konsepsi mengenai populasi klien (konstituensi)
Warga masyarakat.
Konsumen (pengguna jasa).
' Korban '
11.
Konsepsi mengenai peran klien
Partisipan pada proses intraksional pemecahan masalah.
Konsumen atau respien (penerima layanan).
Employer, konstituen dan anggota.



[1] DR. Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas, FE Universitas Indonesia, Depok; 2003. h. 54
[2] Arif Budimanta, “Prinsip-prinsip Community Development” dalam Akses Peran Serta Masyarakat, Jakarta: Sinar Harapan dan Indonesia Center for Sustainable Development; 2003
[3]  DR. Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas, FE Universitas     Indonesia, Depok; 2003. h. 57
Selengkapnya...

Kemiskinan dan Dhu'afa; Sebuah Pengantar


Miskin dan Dhu’afa merupakan dua kata yang mempunyai esensi yang sama akan tetapi memiliki pengertian yang sangat berbeda. Abu Al-Hasan Al-Atsary menyebutkan kata miskin berasal dari kata (اِسْتَكَانَ ــ اِسْتِكَانَة), yang memiliki arti merendahkan diri. Bentuk personalnya (mufrad) adalah (مِسْكِيْنٌ) dan bentuk jamaknya (jama’) adalah (مَسَاكِيْن). Berbeda dengan dhu’afa Al-Atsary menyebutkan kata dhu’afa berasal dari kata (ضَعَفَ ـُـ ضَعَافَة), yang memiliki arti lemah dan tidak berdaya.[1]
Dalam beberapa tafsir Al-Qur’an kata miskin diartikan sebagai orang yang terlantar, tidak mempunyai rumah dan tidak ada sesuatu apapun yang melindungi dirinya kecuali debu.[2] Soerjono Soekanto mendefinisikan kemiskinan sebagai, “suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut”.[3]
Lain halnya dengan Zastrow, ia mengatakan dalam mendefinisikan kemiskinan setidaknya harus dilihat dalam dua persfektif besar[4], yaitu;
a.              Pendekatan Absolut
Keadaan miskin adalah perbandingan antara mereka yang miskin dengan mereka yang tidak miskin.
b.             Pendekatan Relativitas
Keadaan miskin adalah keadaan dimana pendapatan seseorang lebih rendah dengan pendapatan rata-rata semua orang.
Mengambil definisi SMERU yang dikutip oleh Edi Suharto, Ph.D bahwa dalam mendefinisikan kemiskinan terdapat cirri-ciri yang harus kita ketahui;[5]
1.             Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan ekonomi dasar (pangan, sandang dan papan).
2.             Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi air bersih dan transportasi).
3.             Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).
4.             Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal.
5.             Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber alam.
6.             Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat.
7.             Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.
8.             Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
9.             Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).
Suharto menyatakan melalui kutipan Frank Ellis bahwa menyangkut definisi kemiskinan terdapat tiga dimensi yang harus dipahami [6], yaitu;
1.             Aspek Ekonomi
Kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Pada hal ini bisanya kemiskinan diukur dengan garis standar kemiskinan (poverty line), sama dengan strategi yang dilakukan BPS dalam mengukur kemiskinan di Indonesia.
2.             Aspek Politik
Mengambil definisi yang diajukan oleh Friedman bahwa kemiskinan dalam aspek politik adalah kaitannya dengan ketidaksamaan kesempatan dalam mengakumulasikan basis kekuasaan sosial yang meliputi asset, sumber keuangan, organisasi sosial politik, jaringan sosial dan pengetahuan serta keterampilan.
3.             Aspek Sosio-Psikologis
Pada aspek ini kemiskinan menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitasnya. Aspek ini dapat juga didefinisikan sebagai satu keadaan yang disebabkan oleh adanya penghambat yang mencegah dan merintagi seseorang dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat.
Bersamaan dengan definisi diatas Asep Usman Ismail mengutip Ar-Raghib Al-Isfahani dalam Mufradat Al-Fadh Al-Qur’an ketika menjelaskan makna dan maksud istilah dhu’afa pada surat An-Nisaa (4): 9, ia menyatakan bahwa istilah itu memiliki beberapa pengertian sebagai berikut:[7]
1.             Dha’if Al-Jismy, (lemah secara iman, maksudnya orang-orang beriman tidak boleh membiarkan anak-anak mereka memiliki fisik, tubuh ataupun badan yang lemah).
2.             Dha’if Al-‘Aqly, (lemah secara intelektual).
3.             Dha’if Al-Haaly, (lemahnya keadaan sosial ekonomi yang dihadapi. Dalam dimensi ini terdapat dua pengertian mendasar, yakni kelemahan ini tidak berkenaan dengan fisik, keterampilan hidup dan kecerdasan, tetapi berkenaan dengan kemampuan untuk mendapatkan informasi peluang dan pengembangan diri dan kelemahan ini berkenaan dengan kemiskinan dan masalah-masalah sosial.
Pengertian-pengertian diatas dapat dikatakan bersandar pada ayat-ayat Qur’an yang banyak menyebutkan perintah untuk berbuat baik kepada kaum miskin dan dhu’afa. Pada surat Al-Baqarah (2) ayat 3, Allah SWT memerintahkan dengan menyebutkan kalimat “pada rezeki yang kami berikan kepada mereka terdapat hak yang wajib untuk disedekahkan”. Dalam beberapa tafsir disebutkan bahwa ayat pada awalnya muncul sebagai perintah untuk menafkahkan rezeki dengan memberikannya kepada siapa saja dengan ukuran apa yang mudah untuk si pemberi, sampai turun surat At-Taubah yang menjelaskan kewajiban menafkahkan rezeki (zakat).[8]
Dalam surat Al-Insan ayat 8, Allah SWT juga memerintahkan untuk memberikan atas makanan yang mereka cintai. Ibnu Katsir juga menyitir dua ayat yang semisal dengan ayat delapan surat Al-Insan tersebut.[9]



[1] Abu Al-Hasan Al-Atsary, Al-Mufid, (2006). Software Al-Mufid ver. 1.0 oleh TODO (Abu hasan.blogspot.com)
[2] Al-Imam Al-Hafidz ‘Imaduddin Abdul Fida Isma’il bin Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur’aan Al-‘Adzim, Toha Putera, Semarang; tt. h. 514, pengertian ini merupakan tafsiran atas Surat Al-Balad ayat 16. Lihat juga At-Thobary hal. 205, “menyampaikan kepada kami Ibnu Humaid, telah menyampaikan kepada kami Mihran dari Sufyan dari Usman dari Al-Mughirah dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata; (mengenai pengertian orang miskin yang sangat fakir) adalah orang yang dapat ditemui dijalan yang tidak memiliki tempat berteduh kecuali debu”.
[3] Soerjono Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, Raja Grafindo, Jakarta; 2003
[4] Charles H. Zastrow, Introduction to Social Work and Social Welfare, Belmont: Brooks/Cole; 2000
[5] Edi Suharto, Ph.D, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Refika Aditama, Bandung; 2005. h. 132
[6] Edi Suharto, Ph.D, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Refika Aditama, Bandung; 2005. h. 133
[7] Asep Usman Ismail (Ed.), Pengamalan Al-Qur’an tentang Pemberdayaan Dhu’afa, (Jakarta: Dakwah Press, 2008). Hal 15-17
[8] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabariy, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wil Aayi Al-Qur’an, (Daar Al-Fikr, Libanon; 1998). Juz I h. 104.
[9] Al-Imam Al-Hafidz ‘Imaduddin Abdul Fida Isma’il bin Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur’aan Al-‘Adzim, Toha Putera, Semarang; tt. h. 454
Selengkapnya...

Pekerjaan Sosial dan CSR


Berkaitan dengan Pembangunan kesejahteraan sosial terdapat sub-bagian keprofesian yang disebut dengan Pekerja Sosial Industri (Social Worker Industry). Kemunculan profesi ini dilatar belakangi oleh industrialisasi dibeberapa Negara maju. Di Eropa, bidang ini muncul pada tahun 1920-an. Pelayanan sosial di dunia industri muncul pada Abad Pertengahan. Industri-industri rumah pada masa itu diasosiasikan dalam bentuk gilda (guild).[1]
Di AS, pekerja sosial industri pada mulanya dipekerjakan pada pabrik-pabrik tekstil di bagian selatan, di perusahaan International Harvester dan National Cash Register. Mereka melakukan dan atau mengorganisir beragam pelayanan sosial yang meliputi pendirian kamar-kamar istirahat dan kebersihan, perbaikan sanitasi, penyediaan tenaga medis, serta penyediaan makanan, perumahan dan sekolah. Mereka juga mengatur program-program jaminan sosial dan keamanan, pengadaan perpustakaan, kursus menjahit dan memasak, dan pertolongan pertama pada kecelakaan (PPPK).
Terdapat definisi tersendiri mengenai PSI ini sebagaimana disampaikan Edi Suharto, Ph.D bahwa PSI adalah, “lapangan praktik pekerjaan sosial yang secara khusus menangani kebutuhan-kebutuhan kemanusiaan dan sosial di dunia kerja melalui berbagai intervensi dan penerapan metoda pertolongan yang bertujuan untuk memelihara adaptasi optimal antara individu dan lingkungannya.” [2]
Hal senada juga disampaikan oleh Shulamith L. A. Straussner yang dikutip oleh Edi Suharto, Ph. D dalam Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat bahwa terdapat lima tipologi model dalam setting Pekerjaan Sosial Industri ini, yaitu[3] :
1.             The Emloyee Service, yaitu perencanaan dan implementasi program-program dan pelayanan sosial terutama ditujukan untuk memenuhi kebutuhan para pegawai suatu perusahaan secara individual.
2.             The Employer-Work Organization Service, yaitu bantuan bagi manajemen perusahaan dalam mengidentifikasi dan mengembangkan kebijakan-kebijakan dan pelayanan yang berhubungan dengan dunia kerja.
3.             The Consumer Service, yaitu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan konsumen dari perusahaan. Bentuk pelayanan ini adalah pembelaan atas hak-hak konsumen untuk menerima pelayanan-pelayanan perusahaan yang berkualitas.
4.             Corporate Social Investment, yaitu kepedulian perusahaan terhadap kehidupan masyarakat yang tinggal diseputar perusahaan dengan menberikan investasi dalam program-program sosial perusahaan yang berkesinambungan.
5.             Work related Public Policy, yaitu cakupan terhadap formulasi, identifikasi, analisis dan advokasi bagi kebijakan, program dan pelayanan-pelayanan pemerintah yang langsung maupun tidak mempengaruhi dunia kerja.
Sebagaimana disampaikan oleh Suharto tersebut, Corporate Social Responsibility, merupakan bagian dari Pekerjaan Sosial Industri. Sebenarnya terdapat banyak nama untuk kegiatan sosial perusahaan ini, sebagaimana Strategic Canada[4], menyampaikan bahwa CSR dinamakan juga dengan; Corporate Sustainability, Corporate Accountability, Corporate Responsibility, Corporate Citizenship, Corporate Stewardship,[5] bahkan dewasa ini nama CSR digantikan dengan Corporate Social Investment (CSI).
Melihat model tersebut, maka mengutip perkataan Akabas mengenai peran pekerja sosial (social worker) dalam bidang pekerjaan sosial industri adalah, “inti pekerjaan sosial industri meliputui kebijakan, perencanaan dan pelayanan sosial yang bersinggungan antara pekerja sosial dan dunia kerja”.[6]
Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, maka peran PSI juga terdapat dalam beberapa bidang selain yang dinyatakan oleh Akabas, seperti pengembangan SDM dan organisasi, penanggungjawab filantropis sosial perusahaan serta perencanaan pelayanan sosial perusahaan.[7]


[1] Kesalehan Sosial Perusahaan. Jakarta: Tabloid INFO ZAKAT. Edisi 1 Desember 1999.
[2] Edi Suharto, Ph.D, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Refika Aditama, Bandung; 2005. h. 194
[3] Edi Suharto, Ph.D, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Refika Aditama, Bandung; 2005. h. 203
[6] Edi Suharto, Ph.D, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Refika Aditama, Bandung; 2005. h. 195
[7] Edi Suharto, Ph.D, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Refika Aditama, Bandung; 2005.
Selengkapnya...

Azas, Model dan Kategori dalam Implementasi CSR


Prince of Wales International Business Forum,  menyampaikan bahwa ada lima pilar aktivitas yang perlu diperhatikan oleh perusahaan dalam menjalankan  CSR; [1]
1.             Building Human Capital, secara internal perusahaan dituntut untuk menciptakan SDM yang handal. Adapun secara eksternal perusahaan dituntut untuk melakukan pemberdayaan rakyat.
2.             Strenghening Economies, memberdayakan ekonomi sekitar.
3.             Assesing Social Chesion, menjaga keharmonisan dengan masyarakat sekitarnya agar tidak menimbulkan konflik.
4.             Encouring Good Governance, perusahaan harus menjalankan tata kelola bisnisnya dengan baik.
5.             Protecting the Environment, perusahaan harus berupaya keras menjaga kelestarian lingkungannya.
Disampaikan oleh Burlingame dan Young yang dikutip oleh Nuryana dari buku mereka Corporate Philantropy at the Crossroad, mereka mengartikulasikan pemahaman model Corporate Philantropy yang juga dapat digunakan untuk menjelaskan CSR sebagai sebuah keseluruhan.[2] Dalam hal tersebut terdapat empat model dalam CSR, yakni;
1.             Neo-Classical/ Corporate Productivity Model
Merepresentasikan suatu pendekatan CSR sebagai sebuah komponen dari motivasi keuntungan menyeluruh. Pendekatan ini dekat dengan afisiali Milton Friedman, bahwa tujuan bisnis adalah membawa keuntungan kepada shareholder, dan segala sesuatu seperti isu-isu yang sangat kabur tentang social responsibility dan corporate citizenship yang mendetraksi tujuan utama bisnis harus dihindarkan. Menurutnya, aktivitas bertanggungjawab secara sosial seharusnya didorong kalau hal itu membawa keuntungan kepada perusahaan atau keuntungan langsung kepada pegawainya. Perusahaan yang mengadopsi model ini, sulit untuk mengalokasikan dana sosial untuk menunjang kegiatan CSR.
2.             Ethical/ Altruistic Model
Perhatian pada hubungan timbal-balik antara perusahaan dengan komunitas.
3.             Political Model
Keterlibatan penggunaan kebijakan CSR yang proaktif untuk mengimbangi keterlibatan pemerintah dan memungkinkan perusahaan melindungi kepentingan mereka dalam lingkungan kebijakan publik.
Model ini berasumsi bahwa perusahaan dapat mengambil langkah-langkah aktif dan terukur untuk menjamin bahwa mereka memutuskan bagaimana beroperasi dalam kepentingan terbaik.
4.             Stakeholder Model
Keseimbangan antara kompetisi permintaan dari berbagai ragam kelompok yang mendukung perusahaan, termasuk customer dan shareholder. Model ini mengusulkan sebuah sistem konsultasi, komunikasi dan evaluasi di mana semua stakeholder bukan hanya shareholder yang dipertimbangkan sebagai valued participants dalam mencapai kemakmuran perusahaan.
Lydya Sarmiento dan Natalie Cristine V. Jorge dalam sebuah simposium CSR Expo di Manila,[3] menyampaikan bahwasannya terdapat beberapa kategori bagi perusahaan yang menjalankan CSR. Pertama, perusahaan hanya berkontribusi pada ranah sosial sebagi sebuah keuntugan bisnis, kedua, tanggung jawab sosial dijadikan sebagai sebuah perangkat yang jitu sehingga dapat berkontribusi untuk meminimalisir permasalahan sosial, dan ketiga, tanggung jawab sosial perusahaan dijadikan sebagai sebuah bagian strategi dalam melanggengkan bisnis, sehingga diperlukan upaya CSR yang berkelanjutan.


[1] (CSR; sebuah keharusan oleh Teguh Sri Pambudi) Pusat Penyuluhan Sosial (PUSPENSOS), Investasi Sosial, La Tofi Enterprise, Jakarta; 2005. h. 20
[2] (Sumber Dana CSR Perusahaan oleh Mu’man Nuryana, PhD) Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial (BALATBANGSOS), Isu-isu Tematik Pembangunan Sosial (Konsepsi dan Strategi), h. 243-245
[3] Lydya Sarmiento and Natalie Cristine V. Jorge, CSR; Theory and Practice, paper presented on CSR Expo 2007-Manila, 17 Juli 2007. Lembaga Penelitian dan Pengembangan harian KOMPAS juga membagi kategorisasi perusahaan yang melakukan CSR dengan empat kategori, yakni Hitam, kegiatannya degeneratif, mengutamakan kegiatan bisnis, dan tidak memperdulikan aspek lingkungan dan sosial di lingkungannya. Merah, perusahaan peringkat hitam yang mulai menerapkan CSR. CSR masih dipandang sebagai komponen biaya yang mengurangi keuntungan perusahaan. Biru, perusahaan yang menilai praktek CSR akan memeberi dampak positif terhadap usahanya karena merupakan investasi, bukan biaya. Hijau, perusahaan yang sudah menempatkan CSR pada strategi inti dan jantung bisnisnya, CSR tidak hanya sebagai keharusan tetapi kebutuhan (modal sosial). KOMPAS, Rubrik; FOKUS-Kewirausahaan, Sabtu, 4 Agustus 2007. h. 35
Selengkapnya...

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...